Senin, 21 November 2011

Resensi Robohnya Surau Kami

Akhirnya tugas Bahasa Indonesia gue kelar, bolak bali di internet cuman buat nyari beginian. Nama nya juga buat nilai, apa sih yang enggak :p Ini udh bener kok resensi nya, malah udah tanya langsung guru bahasa gue. hehehe di jamin bener deh *Insya Allah ya :)*


Robohnya Surau Kami

A.      Data Publikasi
Judul               : Robohnya Surau Kami
Pengarang       : A.A. Navis
Tahun              : Cetakan ketujuh belas: November 2010
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Dimensi           : 142 halaman
ISBN               : 978-979-22-6129-5
Harga Buku     : Rp 18.500,00

B.       Garis Besar
Ada sepuluh cerita pendek di dalam buku ini. Salah satunya yang cukup fenomenal, yaitu “Robohnya Surau Kami”.
Tokoh Aku dalam cerita robohnya surau kami bercerita tentang pendeskripsian hidup seseorang yang hanya memandang hidup kepada Tuhan. Seorang kakek penjaga surau atau kita sebut saja Kakek Garin menjalani hidupnya di surau. Kehidupannya tidak lepas dari surau. Kesibukan lain yang dilakukannya selain itu hanyalah mengasah pisau. Kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan dengan cara membunuh diri akibat mendengar cerita bohongan seseorang yang sudah dikenalnya, Ajo Sidi. Ajo Sidi menceritakan tentang Haji Shaleh yang masuk ke neraka karena seluruh aktifitas yang dilakukannya hanya bersifat hubungan kepada Allah. Haji Shaleh mengacuhkan hubungan sosialisasi dengan masyarakat sekitar . Allah tidak menginginkan umatnya yang hanya mementingkan kehidupan akhirat, tetapi lupa akan dunia luar.
Robohnya surau kami bukanlah menceritakan sebuah bangunan tempat ibadah yang hancur. Cerita pendek ini lebih mengkiaskan cerita pelaku di dalam agamalah yang merobohkan nilai-nilai agama yang ada. Jika menyukai cerita pendek yang sarat akan nilai kritis sosial, cerita ini merupakan cerita yang menyegarkan. Membuka mata kita pada hal yang tidak terperhatikan dengan seksama.
C.      Keunggulan dan Kelemahan

Keunggulan dari cerita robohnya surau kami terletak pada bagaimana A.A. Navis mengakhiri cerita dengan kejadian yang tak terduga, lalu pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Kelemahannya terletak pada gaya bahasa yang terlalu tinggi, sehingga sulit untuk dibaca.
Unsur perkampungan juga memberi latar yang pas dalam penceritaan. Pembaca dibawa menelusuri latar perkampungan yang masih kental. Dimana anak-anak bermain di surau, ataupun ibu-ibu yang suka mencopoti papan pada malam hari untuk kayu bakar.
D.      Penokohan
1.      Tokoh Aku
  Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. A.A. Navis menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain.
2.      Ajo Sidi
 Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bohong. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku.
3.      Kakek Garin
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh A. A. Navis tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, mengambil keputusan tanpa pikir panjang, dan tentu saja lemah iman nya.


E.       Amanat
Navis seperti ingin mengingatkan kita yang seringkali berpuas diri dalam ibadah, tapi sesungguhnya lupa memaknai ibadah itu sendiri. Kita rajin sahalat, mengaji dan kegiatan ritual keagamaan lainnya karena kita takut masuk neraka. Kita menginginkan pahala dan keselamatan hanya untuk diri kita sendiri. Kita melupakan kebutuhan orang lain. Karenanya kita tidak merasa berdosa dan bersalah ketika mengambil hak orang lain, menyakiti perasaan sesama atau bahkan melakukan ketidakjujuran dan kemaksiatan di muka bumi.
F.       Sinopsis

Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin. Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok. Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan. Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya. Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur. Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
G.      Gaya Bahasa
A.A. Navis menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini.
H.      Saran
Cerita ini sangat cocok untuk dibaca, karena memberikan hal-hal yang menarik bagi kehidupan sang pembaca.
I.         Tentang Tokoh
A.A. Navis lahir 17 November 1924 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia mendapat pendidikan di Perguruan Kayutanam. Pernah menjadi Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Tengah di Bukittinggi (1952-1955), pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1982), dan sejak 1969 menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.
Karya-karyanya adalah Hujan Panas (1964),  Kemarau (1967), Di Lintasan Mendung (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Bertanya Kerbau pada Pedati (2002), dan Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (2002).

2 komentar: